Meresolusi Pilkada Maluku Utara
Surwandono
Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM dan Dosen Fisipol UMY
Konflik pilkada Maluku Utara sudah sangat berlarut-larut, energy politik, ekonomi, dan kemanusiaan sedemikian rupa telah tertumpah tanpa makna. Setiap kebijakan untuk meresolusi konflik, apakah melalui penetrasi kekuatan hokum, baik melalui fatwa MA ataupun melalui pendekatan kekuatan keamanan dengan mengirimkan pejabat militer sementara dari pusat, dan penyelesaian melalui politik dengan bentuk penghitungan suara kembali dan rapar paripurna DPRD Maluku utara.
Tulisan akan memberikan sumbang saran bagi proses penyelesaian Pilkada Maluku Utara, khususnya dalam proses merancang proses negosiasi dalam penyelesaian konflik Maluku. Penyelesaian melalui mekanisme negosiasi menjadi sangat perlu, di tengah proses penyelesaian selama ini kurang mengedepankan proses negosiasi, tetapi lebih mengedepankan proses arbritasi yang justru semakin memperluas dan memperdalam konflik yang ada. Yang justru dikhawatirkan akan membawa masyarakat Maluku ke dalam konflik etnis seperti yang pernah terjadi dalam satu windu terakhir.
Merancang Negosiasi Berbasis Wajah
Adalah seorang William Zartman yang mengenalkan negosiasi sebagai instrument penting dalam penyelesaian konflik. Teori dasar negosiasi Zartman adalah tentang konsep MHS (mutual hurting stalemate) sebagai asumsi dasar teori ripeness. Negosiasi sebuah kebutuhan jika fihak-fihak yang berkonflik sudah semakin menyadari bahwa dengan terus melakukan konflik maka masing-masing fihak akan mengalami kerugian yang sangat besar, kedua-duanya akan saling terluka bahkan bukan tidak mungkin fihak lain yang justru mendapatkan keuntungan dari tetap berlangsungnya konflik. Jika konflik dalam kondisi seperti ini, dalam terminology Zartman (2005) inilah saat yang paling tepat untuk menawarkan proses negosiasi.
Lantas bagaimana cara merancang negosiasi? Hal yang paling urgen tatkala merancang negosiasi adalah dengan pendekatan apa negosiasi akan dibangun, apakah mengedepankan aspek komunikasi, politik ataukah aspek budayanya. Studi yang cukup menarik untuk dilirik dalam konteks konflik Pilkada di Maluku Utara adalah penggunaan konsepsi face negotiation yang diajukan oleh Stella Ting-Toomey (2005). Teori dari Stoomey berangkat dari asumsi dasar bahwa budaya merupakan modal social yang paling efektif untuk menyelesaikan konflik etnik-politik.
Dari eksplorasi budaya, Stoomey menemukan 4 model negosiasi yang bisa dipilih : pertama, face restoration (restorasi wajah), memberikan kebebasan bagi fihak yang berkonflik untuk melakukan proteksi terhadap kepentingan-kepentingannya dalam kerangka tertib social. Kedua, Face saving (menyelamatkan wajah), dengan menunjukan penghargaan terhadap kebutuhan fihak akan ruang dan privasinya. Ketiga, Face assertion (menegaskan wajah), melalui upaya untuk mempertahankan dan melindungi kebutuhan fihak lain dan keempat Face giving (memberikan wajah) yakni dengan memberikan ruang bagi masing-masing fihak untuk saling memberikan konsesi dan pilihan moderat.
Dalam konteks konflik Pilkada, konflik sudah mengalami ekskalasi sedemikian rupa, dari area konflik yang sebelumnya sebagai fenomena konflik local telah menjadi konflik nasional, dari konflik elit-partai telah menjadi konflik di tingkat massa, dari konflik dengan actor Ghafur- Fabanyo dengan Thaib-Armain telah meluas menjadi konflik antara KPUD, MA dan KPUD.Yang paling mengkhawatirkan adalah konflik dalam bentuk mobilisasi massa, yang semakin hari semakin meluas. Titik ledak inilah yang harus diwaspadai oleh fihak yang sedang berkonflik , pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Pemerintah dan DPRD jangan sampai lagi saling melempar otoritas untuk menentukan pemenang Pilkada.
Langkah-langkah
Merujuk dari Stoomey, upaya untuk mengurai benang kusut konflik pilkada Maluku Utara, maka pemerintah diharapkan menyusun tahap-tahap penyelesain konflik pilkada secara sistematis. Pertama, pemerintah melakukan inisiasi negosiasi restorasi wajah. Kedua belah fihak yang berkonflik diharapkan untuk secara bijaksana dan dewasa untuk menyusun argument-argumen yang kuat, rasional dan bukan emosional, serta komprehensif sebagai bahan utama dalam pelaksanaan negosiasi. Tahap kedua, fase menyelamatkan wajah, yakni dengan memberikan kesempatan bagi fihak lain untuk saling mempelajari kebutuhan dan kepentingan fihak-fihak yang berkonflik. Fase ini sesungguhnya sebagai cara untuk menentukan range negosiasi,issue substantive dan alterantif penyelesaian yang komprehensif, matang sebagai bahan utama yang akan dinegosiasikan. Langkah ini penting agar dalam pelaksanaan negosiasi tidak timbul politisasi negosiasi dari masing-masing fihak yang berkonflik untuk menyusun agenda baru yang bisa merusak arah pelaksanaan negosiasi.
Tahap ketiga, penegasan wajah. Fase ini merupakan fase yang sangat krusial karena dalam titik inilah fihak-fihak yang sedang berkonflik akan memberikan ruang untuk berbagi kepentingan, konsensi, dan moderasi. Kubu yang berkonflik bisa memilih preferensi penyelesaian konflik, dari yang bersifat administrative-teknis, sampai hal yang bersifat substantive politik, yang bisa ditawarkan oleh fihak fasilitator, mediator, baik pemerintah, DPRD, KPU-KPUD, MA, Makhamah Konstitusi. Di sinilah letak tanggung jawab social fasilitator untuk menjadi fasilitator-mediator yang profesional, sebab jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati, maka sangat besar kemungkinan peran fasilitator-maupun mediator justru akan menjadi provocator konflik. Kesalahan-kesalahan yang selama ini dibuat oleh sekelompok fasilitator-mediator, diharapkan tidak diulangi kembali. Tahap ini mengharuskan fasilitator untuk mendesain sedemikian rupa pelaksanaan negosiasi yang memberikan ruang kondusif bagi penyelesaian konflik, baik dari tempat, waktu dan setting pelaksanaan negosiasi.
Dan tahap terakhir adalah pelaksanaan negosiasi untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang dalam pelaksanaan negosiasi, apakah keduanya menjadi pemenang sehingga perlu ada mekanisme konvensi Pergantian Antar Waktu (PAW) sebagaimana fatsun politik di Parlemen, ataukah terdapat pemenang mutlak dan kalah mutlak sebagai hasil uji dokumentasi dan argumentasi secara fair dan obyektif, atau bahkan tidak ada pemenang antara kedua, sehingga menghendaki dilaksanakannya pilkada ulang secara massif atau hanya terbatas, atau dengan formula yang lain.
Agenda lain terkait dengan Pilkada langsung agar kasus sengketa Pilkada Maluku Utara tidak menjadi penyakit menular adalah bagaimana pemerintah dan DPR melakukan reformasi dan kajian yang mendalam tentang UU yang terkait dengan Pilkada, baik dalam sinkronisasi aturan main, maupun mekanisme pelaksanaan pilkada dan tata cara penyelesaian Pilkada secara terlembaga. Hanya dengan langkah yang rasional, visioner dan dewasalah, bangsa Indonesia akan dapat menyelamatkan nasib demokrasi. Semoga.
Surwandono
Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM dan Dosen Fisipol UMY
Konflik pilkada Maluku Utara sudah sangat berlarut-larut, energy politik, ekonomi, dan kemanusiaan sedemikian rupa telah tertumpah tanpa makna. Setiap kebijakan untuk meresolusi konflik, apakah melalui penetrasi kekuatan hokum, baik melalui fatwa MA ataupun melalui pendekatan kekuatan keamanan dengan mengirimkan pejabat militer sementara dari pusat, dan penyelesaian melalui politik dengan bentuk penghitungan suara kembali dan rapar paripurna DPRD Maluku utara.
Tulisan akan memberikan sumbang saran bagi proses penyelesaian Pilkada Maluku Utara, khususnya dalam proses merancang proses negosiasi dalam penyelesaian konflik Maluku. Penyelesaian melalui mekanisme negosiasi menjadi sangat perlu, di tengah proses penyelesaian selama ini kurang mengedepankan proses negosiasi, tetapi lebih mengedepankan proses arbritasi yang justru semakin memperluas dan memperdalam konflik yang ada. Yang justru dikhawatirkan akan membawa masyarakat Maluku ke dalam konflik etnis seperti yang pernah terjadi dalam satu windu terakhir.
Merancang Negosiasi Berbasis Wajah
Adalah seorang William Zartman yang mengenalkan negosiasi sebagai instrument penting dalam penyelesaian konflik. Teori dasar negosiasi Zartman adalah tentang konsep MHS (mutual hurting stalemate) sebagai asumsi dasar teori ripeness. Negosiasi sebuah kebutuhan jika fihak-fihak yang berkonflik sudah semakin menyadari bahwa dengan terus melakukan konflik maka masing-masing fihak akan mengalami kerugian yang sangat besar, kedua-duanya akan saling terluka bahkan bukan tidak mungkin fihak lain yang justru mendapatkan keuntungan dari tetap berlangsungnya konflik. Jika konflik dalam kondisi seperti ini, dalam terminology Zartman (2005) inilah saat yang paling tepat untuk menawarkan proses negosiasi.
Lantas bagaimana cara merancang negosiasi? Hal yang paling urgen tatkala merancang negosiasi adalah dengan pendekatan apa negosiasi akan dibangun, apakah mengedepankan aspek komunikasi, politik ataukah aspek budayanya. Studi yang cukup menarik untuk dilirik dalam konteks konflik Pilkada di Maluku Utara adalah penggunaan konsepsi face negotiation yang diajukan oleh Stella Ting-Toomey (2005). Teori dari Stoomey berangkat dari asumsi dasar bahwa budaya merupakan modal social yang paling efektif untuk menyelesaikan konflik etnik-politik.
Dari eksplorasi budaya, Stoomey menemukan 4 model negosiasi yang bisa dipilih : pertama, face restoration (restorasi wajah), memberikan kebebasan bagi fihak yang berkonflik untuk melakukan proteksi terhadap kepentingan-kepentingannya dalam kerangka tertib social. Kedua, Face saving (menyelamatkan wajah), dengan menunjukan penghargaan terhadap kebutuhan fihak akan ruang dan privasinya. Ketiga, Face assertion (menegaskan wajah), melalui upaya untuk mempertahankan dan melindungi kebutuhan fihak lain dan keempat Face giving (memberikan wajah) yakni dengan memberikan ruang bagi masing-masing fihak untuk saling memberikan konsesi dan pilihan moderat.
Dalam konteks konflik Pilkada, konflik sudah mengalami ekskalasi sedemikian rupa, dari area konflik yang sebelumnya sebagai fenomena konflik local telah menjadi konflik nasional, dari konflik elit-partai telah menjadi konflik di tingkat massa, dari konflik dengan actor Ghafur- Fabanyo dengan Thaib-Armain telah meluas menjadi konflik antara KPUD, MA dan KPUD.Yang paling mengkhawatirkan adalah konflik dalam bentuk mobilisasi massa, yang semakin hari semakin meluas. Titik ledak inilah yang harus diwaspadai oleh fihak yang sedang berkonflik , pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Pemerintah dan DPRD jangan sampai lagi saling melempar otoritas untuk menentukan pemenang Pilkada.
Langkah-langkah
Merujuk dari Stoomey, upaya untuk mengurai benang kusut konflik pilkada Maluku Utara, maka pemerintah diharapkan menyusun tahap-tahap penyelesain konflik pilkada secara sistematis. Pertama, pemerintah melakukan inisiasi negosiasi restorasi wajah. Kedua belah fihak yang berkonflik diharapkan untuk secara bijaksana dan dewasa untuk menyusun argument-argumen yang kuat, rasional dan bukan emosional, serta komprehensif sebagai bahan utama dalam pelaksanaan negosiasi. Tahap kedua, fase menyelamatkan wajah, yakni dengan memberikan kesempatan bagi fihak lain untuk saling mempelajari kebutuhan dan kepentingan fihak-fihak yang berkonflik. Fase ini sesungguhnya sebagai cara untuk menentukan range negosiasi,issue substantive dan alterantif penyelesaian yang komprehensif, matang sebagai bahan utama yang akan dinegosiasikan. Langkah ini penting agar dalam pelaksanaan negosiasi tidak timbul politisasi negosiasi dari masing-masing fihak yang berkonflik untuk menyusun agenda baru yang bisa merusak arah pelaksanaan negosiasi.
Tahap ketiga, penegasan wajah. Fase ini merupakan fase yang sangat krusial karena dalam titik inilah fihak-fihak yang sedang berkonflik akan memberikan ruang untuk berbagi kepentingan, konsensi, dan moderasi. Kubu yang berkonflik bisa memilih preferensi penyelesaian konflik, dari yang bersifat administrative-teknis, sampai hal yang bersifat substantive politik, yang bisa ditawarkan oleh fihak fasilitator, mediator, baik pemerintah, DPRD, KPU-KPUD, MA, Makhamah Konstitusi. Di sinilah letak tanggung jawab social fasilitator untuk menjadi fasilitator-mediator yang profesional, sebab jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati, maka sangat besar kemungkinan peran fasilitator-maupun mediator justru akan menjadi provocator konflik. Kesalahan-kesalahan yang selama ini dibuat oleh sekelompok fasilitator-mediator, diharapkan tidak diulangi kembali. Tahap ini mengharuskan fasilitator untuk mendesain sedemikian rupa pelaksanaan negosiasi yang memberikan ruang kondusif bagi penyelesaian konflik, baik dari tempat, waktu dan setting pelaksanaan negosiasi.
Dan tahap terakhir adalah pelaksanaan negosiasi untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang dalam pelaksanaan negosiasi, apakah keduanya menjadi pemenang sehingga perlu ada mekanisme konvensi Pergantian Antar Waktu (PAW) sebagaimana fatsun politik di Parlemen, ataukah terdapat pemenang mutlak dan kalah mutlak sebagai hasil uji dokumentasi dan argumentasi secara fair dan obyektif, atau bahkan tidak ada pemenang antara kedua, sehingga menghendaki dilaksanakannya pilkada ulang secara massif atau hanya terbatas, atau dengan formula yang lain.
Agenda lain terkait dengan Pilkada langsung agar kasus sengketa Pilkada Maluku Utara tidak menjadi penyakit menular adalah bagaimana pemerintah dan DPR melakukan reformasi dan kajian yang mendalam tentang UU yang terkait dengan Pilkada, baik dalam sinkronisasi aturan main, maupun mekanisme pelaksanaan pilkada dan tata cara penyelesaian Pilkada secara terlembaga. Hanya dengan langkah yang rasional, visioner dan dewasalah, bangsa Indonesia akan dapat menyelamatkan nasib demokrasi. Semoga.