Surwandono's Blog

Meresolusi Pilkada Malut

by Surwandono UMY | 22.33 in | komentar (0)

Meresolusi Pilkada Maluku Utara
Surwandono
Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM dan Dosen Fisipol UMY
Konflik pilkada Maluku Utara sudah sangat berlarut-larut, energy politik, ekonomi, dan kemanusiaan sedemikian rupa telah tertumpah tanpa makna. Setiap kebijakan untuk meresolusi konflik, apakah melalui penetrasi kekuatan hokum, baik melalui fatwa MA ataupun melalui pendekatan kekuatan keamanan dengan mengirimkan pejabat militer sementara dari pusat, dan penyelesaian melalui politik dengan bentuk penghitungan suara kembali dan rapar paripurna DPRD Maluku utara.
Tulisan akan memberikan sumbang saran bagi proses penyelesaian Pilkada Maluku Utara, khususnya dalam proses merancang proses negosiasi dalam penyelesaian konflik Maluku. Penyelesaian melalui mekanisme negosiasi menjadi sangat perlu, di tengah proses penyelesaian selama ini kurang mengedepankan proses negosiasi, tetapi lebih mengedepankan proses arbritasi yang justru semakin memperluas dan memperdalam konflik yang ada. Yang justru dikhawatirkan akan membawa masyarakat Maluku ke dalam konflik etnis seperti yang pernah terjadi dalam satu windu terakhir.
Merancang Negosiasi Berbasis Wajah
Adalah seorang William Zartman yang mengenalkan negosiasi sebagai instrument penting dalam penyelesaian konflik. Teori dasar negosiasi Zartman adalah tentang konsep MHS (mutual hurting stalemate) sebagai asumsi dasar teori ripeness. Negosiasi sebuah kebutuhan jika fihak-fihak yang berkonflik sudah semakin menyadari bahwa dengan terus melakukan konflik maka masing-masing fihak akan mengalami kerugian yang sangat besar, kedua-duanya akan saling terluka bahkan bukan tidak mungkin fihak lain yang justru mendapatkan keuntungan dari tetap berlangsungnya konflik. Jika konflik dalam kondisi seperti ini, dalam terminology Zartman (2005) inilah saat yang paling tepat untuk menawarkan proses negosiasi.
Lantas bagaimana cara merancang negosiasi? Hal yang paling urgen tatkala merancang negosiasi adalah dengan pendekatan apa negosiasi akan dibangun, apakah mengedepankan aspek komunikasi, politik ataukah aspek budayanya. Studi yang cukup menarik untuk dilirik dalam konteks konflik Pilkada di Maluku Utara adalah penggunaan konsepsi face negotiation yang diajukan oleh Stella Ting-Toomey (2005). Teori dari Stoomey berangkat dari asumsi dasar bahwa budaya merupakan modal social yang paling efektif untuk menyelesaikan konflik etnik-politik.
Dari eksplorasi budaya, Stoomey menemukan 4 model negosiasi yang bisa dipilih : pertama, face restoration (restorasi wajah), memberikan kebebasan bagi fihak yang berkonflik untuk melakukan proteksi terhadap kepentingan-kepentingannya dalam kerangka tertib social. Kedua, Face saving (menyelamatkan wajah), dengan menunjukan penghargaan terhadap kebutuhan fihak akan ruang dan privasinya. Ketiga, Face assertion (menegaskan wajah), melalui upaya untuk mempertahankan dan melindungi kebutuhan fihak lain dan keempat Face giving (memberikan wajah) yakni dengan memberikan ruang bagi masing-masing fihak untuk saling memberikan konsesi dan pilihan moderat.
Dalam konteks konflik Pilkada, konflik sudah mengalami ekskalasi sedemikian rupa, dari area konflik yang sebelumnya sebagai fenomena konflik local telah menjadi konflik nasional, dari konflik elit-partai telah menjadi konflik di tingkat massa, dari konflik dengan actor Ghafur- Fabanyo dengan Thaib-Armain telah meluas menjadi konflik antara KPUD, MA dan KPUD.Yang paling mengkhawatirkan adalah konflik dalam bentuk mobilisasi massa, yang semakin hari semakin meluas. Titik ledak inilah yang harus diwaspadai oleh fihak yang sedang berkonflik , pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Pemerintah dan DPRD jangan sampai lagi saling melempar otoritas untuk menentukan pemenang Pilkada.
Langkah-langkah
Merujuk dari Stoomey, upaya untuk mengurai benang kusut konflik pilkada Maluku Utara, maka pemerintah diharapkan menyusun tahap-tahap penyelesain konflik pilkada secara sistematis. Pertama, pemerintah melakukan inisiasi negosiasi restorasi wajah. Kedua belah fihak yang berkonflik diharapkan untuk secara bijaksana dan dewasa untuk menyusun argument-argumen yang kuat, rasional dan bukan emosional, serta komprehensif sebagai bahan utama dalam pelaksanaan negosiasi. Tahap kedua, fase menyelamatkan wajah, yakni dengan memberikan kesempatan bagi fihak lain untuk saling mempelajari kebutuhan dan kepentingan fihak-fihak yang berkonflik. Fase ini sesungguhnya sebagai cara untuk menentukan range negosiasi,issue substantive dan alterantif penyelesaian yang komprehensif, matang sebagai bahan utama yang akan dinegosiasikan. Langkah ini penting agar dalam pelaksanaan negosiasi tidak timbul politisasi negosiasi dari masing-masing fihak yang berkonflik untuk menyusun agenda baru yang bisa merusak arah pelaksanaan negosiasi.
Tahap ketiga, penegasan wajah. Fase ini merupakan fase yang sangat krusial karena dalam titik inilah fihak-fihak yang sedang berkonflik akan memberikan ruang untuk berbagi kepentingan, konsensi, dan moderasi. Kubu yang berkonflik bisa memilih preferensi penyelesaian konflik, dari yang bersifat administrative-teknis, sampai hal yang bersifat substantive politik, yang bisa ditawarkan oleh fihak fasilitator, mediator, baik pemerintah, DPRD, KPU-KPUD, MA, Makhamah Konstitusi. Di sinilah letak tanggung jawab social fasilitator untuk menjadi fasilitator-mediator yang profesional, sebab jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati, maka sangat besar kemungkinan peran fasilitator-maupun mediator justru akan menjadi provocator konflik. Kesalahan-kesalahan yang selama ini dibuat oleh sekelompok fasilitator-mediator, diharapkan tidak diulangi kembali. Tahap ini mengharuskan fasilitator untuk mendesain sedemikian rupa pelaksanaan negosiasi yang memberikan ruang kondusif bagi penyelesaian konflik, baik dari tempat, waktu dan setting pelaksanaan negosiasi.
Dan tahap terakhir adalah pelaksanaan negosiasi untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang dalam pelaksanaan negosiasi, apakah keduanya menjadi pemenang sehingga perlu ada mekanisme konvensi Pergantian Antar Waktu (PAW) sebagaimana fatsun politik di Parlemen, ataukah terdapat pemenang mutlak dan kalah mutlak sebagai hasil uji dokumentasi dan argumentasi secara fair dan obyektif, atau bahkan tidak ada pemenang antara kedua, sehingga menghendaki dilaksanakannya pilkada ulang secara massif atau hanya terbatas, atau dengan formula yang lain.
Agenda lain terkait dengan Pilkada langsung agar kasus sengketa Pilkada Maluku Utara tidak menjadi penyakit menular adalah bagaimana pemerintah dan DPR melakukan reformasi dan kajian yang mendalam tentang UU yang terkait dengan Pilkada, baik dalam sinkronisasi aturan main, maupun mekanisme pelaksanaan pilkada dan tata cara penyelesaian Pilkada secara terlembaga. Hanya dengan langkah yang rasional, visioner dan dewasalah, bangsa Indonesia akan dapat menyelamatkan nasib demokrasi. Semoga.

Membangun Nalar ukhuwah

by Surwandono UMY | 22.32 in | komentar (0)

“KAUKUS UKHUWAH” versi Anak Muda
Surwandono
Dosen Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM
MUI Kota Yogyakarta, Ahad 19 Oktober 2008 mengundang penulis untuk mengadakan dengar pendapat tentang konsepsi dan operasionalisasi nilai ukhuwah dalam rangka menghadapi proses politik dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2009. Pertemuan ini dilandasi pemikiran antisipatif, bahwa banyaknya partai politik yang menggunakan identitas Islam, ataupun memobilisasi aspirasi umat Islam, seringkali jatuh dalam praktik kampanye negative ataupun melakukan black campaign yang seringkali mencederai nilai ukhuwah itu sendiri.
Nilai ukhuwah dalam tataran politik praktis, lebih sering diabaikan daripada diamalkan, hanya karena memperebutkan suara dari kalangan umat Islam. Ukhuwah hanya menjadi nilai-nilai langit yang sulit untuk diimplementasikan dalam tataran praktis. Masyarakat seakan membenarkan nalar politik realis, tidak ada kawan dan musuh sejatinya, yang abadi adalah kepentingan itu sendiri. Ukhuwah bisa jadi bisa ditinggalkan bahkan dibuang jauh-jauh, jika ternyata ukhuwah menganggu pencapaian kepentingan politik.
Tingkat Kesadaran Berukhuwah
Adalah Paolo Freire yang melakukan kategorisasi tentang derajat kesadaran manusia dalam 3 tiga golongan. Pertama, kesadaran magis, yakni orang melakukan sesuatu lebih karena pengaruh dari nilai ataupun norma-norma yang mana tidak disertai dengan keinginan ataupun kesadaran untuk menginternalisasi dan mengoperasionalkan nilai tersebut dalam tindakan praktis. Kesadaran ini hanya melahirkan tutur lisan yang tidak mangejawantah dalam tindakan. Dalam konteks ini, al-Qur’an melakukan sindiran dengan ungkapan antaquulu maa laa taf’aluuna, hanya bisa mengatakan tapi tak bisa melaksanakan.
Kedua, kesadaran naïf, yakni sebuah kesadaran yang dibangun secara parsial. Kesadaran yang hanya membimbing seseorang melakukan tindakan sesuatu, jika sesuatu tersebut menguntungkan dirinya sendiri. Kesadaran ini ditandai dengan memilih-milih, kebenaran bisa jadi hanya menjadi “pepesan” jika kebenaran tersebut menguntungkan dirinya. Dalam konteks ini, al-Qur’an juga melakukan sindiran dengan ungkapan, wa minnansi mayya’budullaha ‘alal harfin, (ada sebagian manusia yang menyembah kepada Alloh, hanya di pinggiran saja).
Ketiga, kesadaran kritis, yakni suatu kesadaran yang terbangun dari proses kontemplasi dan internalisasi nilai melalui proses verifikasi obyektif. Orang akan melakukan sesuatu yang diyakini benar, apapun resiko yang akan diterima. Kesadaran ini membangun pola fikir seseorang lebih mengutamakan nilai daripada hasil yang ia peroleh jika ia melakukan sesuatu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Dalam konteks ini, al-Qur’an juga memberikan pujian kepada Ismail AS yang mau menerima pilihan untuk disembelih oleh sang ayahnya, Ibrahim, karena Ismail dilandasi sebuah kesadaran bahwa pilihan dan perintah Alloh tidak pernah bersifat zalim. Ungkapan al-Quran sangat jelas dalam tutur doa, Rabbana maa khalaqta hadzaa bathilan. (Sungguh yaa Tuhanku, Engkau tiada ciptakaan sesuatu dalam keadaan sia-sia).
Nalar Ukhuwah Anak Muda
Dalam forum tersebut, terbangun sebuah komitmen seperti layaknya sebuah “kaukus ukhuwah”: pertama, bahwa para pemimpin partai politik berbasis Islam ataupun bermassakan Islam, di kota Yogyakarta, sebagian besar mulai diisi oleh para anak muda, yang menyampaikan komitmen secara lugas untuk menanggalkan berbagai bentuk caci-maki, sumpah serampah, fitnah, mencari-cari kesalahan fihak lain, untuk memperoleh dukungan dari masyarakat. Kedua, para anak muda ini secara sadar akan menanggalkan ashabiyyah kepartaiaan ketika menyikapi terjadinya konflik antar partai dalam proses pemilu. Menilik dari “kaukus ukhuwah”, terdapat harapan besar bahwa “fitnah ukhuwah” dalam proses politik 2009, akan bisa dieliminasi sedemikian rupa sampai titik terendah. Ketiga, ada suatu kecenderungan besar bahwa para pemimpin muda ini lebih memilih dan setia menjadi “pengurus” daripada menjadi “caleg” sebelum mereka bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Keempat, para pemimpin muda lebih memilih terjaganya tali “ukhuwah” dalam proses politik daripada memenangkan proses politik tetapi dengan mencederai ukhuwah.
Dalam pembacaan penulis, tampak bahwa para pemimpin muda sedang melakukan konstruksi politik baru dan progresif, yakni politik berbasis ukhuwah dan bukan politik berbasis kepentingan. Politik berbasis ukhuwah diyakini akan lebih produktif dibandingkan politik berbasiskan kepentingan. Sehingga, muncul nalar yang sangat menarik, “Tidak ada kepentingan yang paling abadi dalam politik, kecuali “kepentingan” untuk senantiasa berukhuwah.
Nalar yang progresif di atas, menarik untuk ditelisik dan diseminasikan lebih jauh ke tingkat bawah di level ummat dan didesiminasikan ke tingkat atas di level elit politik nasional. Menarik ditelisik, bagaimana kesadaran akan nalar ini justru lahir dari kalangan muda, yang seringkali khasanah yang dikuasai anak muda adalah khasanah wacana dan bukan pengalaman asam dan garam politik kekuasaan.
Setidaknya terdapat 3 hal yang menarik untuk ditelisik lebih jauh. Pertama, apakah yang mendorong para anak muda ini memiliki nalar yang sangat bijak, yang seakan mampu melintasi umurnya. Apakah ini terbangun dari keputusasaan para generasi muda ketika kalah bersaing dalam proses politik dengan politisi tua yang oligharkis. Atau berasal dari kesadaran kritis anak muda yang melakukan breakthrough sebagaimana nalar yang pernah dikembangkan Ismail AS. Langkah identifikasi ini penting, agar nalar ini tidak hanya sekedar menjadi wacana belaka, namun bisa ditransformasikan ke dalam struktur partai politik, organisasi social bahkan dalam kelembagaan Negara.
Kedua, apapun alasan kemunculan nalar tersebut, komitmen sudah dibuat, sehingga yang tak kalah penting adalah memperkuat daya tahan nalar tersebut dari gerusan nalar-nalar pragmatis dan oppurtunis. Organisasi social perlu memberikan apresiasi dan advokasi agar nalar tersebut terus menggelinding sehingga bisa memberikan sibghah (warna) bagi paradigm politik kekuasaan. Dengan menguatnya nalar politik ukhuwah, suasana proses politik tidak lagi dipenuhi dengan intrik-intrik, serang-menyerang namun akan diisi dengan dialektika penyelesaian masalah secara konstruktif, dan bermartabat.
Ketiga, mendesiminasikan nalar ini menjadi nalar kesadaran kritis, bahwa nalar ini adalah nalar fitrah, otonom, akuntabel, sehingga nalar ini tidak hanya sekedar menjadi “mesin cuci” bagi para politisi yang kalah bersaing dalam panggung politik, ataupun para politisi yang sudah teramat banyak membuat dosa dengan menggadaikan ukhuwah. Dengan menjadi kesadaran kritis, maka nalar ini akan mampu memproteksi dan membendung para politisi yang oppurtunistik yang hendak mencemarinya. Wallohu a’lam.

Politisasi Hadiah Nobel

by Surwandono UMY | 22.29 in | komentar (0)

Membaca Politisasi Hadiah Nobel

Surwandono

Dosen Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM

Sangat menarik tulisan Kishore Mahbubani tatkala mengkritisi terhadap pemberian hadiah Nobel kepada Martti Ahtisaari atas upaya menegakkan perdamaian di Aceh. Kishore Mahbubani melihat adanya kekacauan peta mental yang digunakan panitia Nobel Norwegia dalam pengambilan keputusan. Anggota-anggota panitia tampaknya terjerat sebagai tawanan masa lalu. (Koran Tempo, 20 Oktober 2008)

Sejenak kita bisa membandingkan beberapa hadiah nobel yang terkait dengan para actor di daerah konflik, khususnya di kawasan Asia. Setidaknya ada sekitar 4 nama yang bisa dijadikan referensi pembanding. Pertama, Hadiah sekelas Nobel yang diberikan UNESCO, the 1997 Felix Houphouet-Boigny Peace Prize, kepada Nur Misuari dan Presiden Fidel Ramos atas kesediaannya melakukan negosiasi dalam Final Peace Agreement 1996, yang mengakhiri konflik Mindanao yang telah berlangsung selama kurang lebih 30-an tahun. Kedua, Hadiah Nobel Perdamaian juga pernah didapat oleh Ramos Horta, yang diyakini sebagai actor yang sangat gigih untuk memperjuangkan aspirasi politik masyarakat Timor Timur. Ketiga, hadiah nobel juga pernah diterima oleh Muhammad Yunus, seorang ekonom ekonomi kerakyatan di Bangladesh, yang dianggap mampu mentransformasi energi kekerasan kaum terpinggirkan menjadi energi ekonomi yang produktif.

Nobel dan Legistimasi Politik

Hadiah Nobel merupakan penghargaan yang sangat prestisius. Sebuah apresiasi dari masyarakat internasional terhadap dedikasi dan kerja keras seorang individu yang berhasil menciptakan mahakarya yang bisa dirasakan kemanfaatannya secara luas. Dengan hadiah Nobel, seseorang akan menjadi sangat popular, disanjung, bahkan akan di-dewa-kan menjadi “manusia setengah dewa”, manusia yang sangat bijak, yang dapat melintasi zaman dan ruang.

Kondisi ini sangat menarik untuk dianalisis dalam perspektif elit. Sederhananya, hadiah Nobel merupakan sebuah jalan tol yang sangat mulus yang akan mampu mendongkrak legitimasi seorang elite menjadi top elite. Hadiah Nobel diyakini memiliki korelasi positif terhadap bangunan legitimasi yang akan diterima seseorang. Setidaknya, kita bisa membaca dari beberapa fenomena di atas. Pertama, Hadiah the 1997 Felix Houphouet-Boigny Peace Prize, yang diterima Nur Misuari dan Presiden Fidel Ramos, digunakan sedemikian rupa untuk meningkatkan legitimasinya yang semakin melorot. Nur Misuari mempergunakan hadiah ini untuk berkompetisi dengan elit politik di Mindanao, baik di dalam internal MNLF maupun dengan compatriot-nya di MILF yakni Salamat Hashim dan mempertahankan eksistensi politiknya sebagai gubernur ARMM. Fidel Ramos juga mempergunakannya untuk bisa bertahan menjadi kandidat dalam Pemilihan Presiden 1998 melalui upayanya untuk melakukan proses amandemen konstitusi terkait dengan perpanjangan kesempatan menjadi presiden.

Kedua, kondisi ini juga serupa yang dilakukan oleh Ramos Horta tatkala memperoleh hadiah Nobel Perdamaian, sebuah hadiah yang kala itu diyakini public Indonesia sebagai hadiah yang controversial, terkait dengan stigma bahwa Ramos Harto lebih sebagai seorang provocator dibandingkan dengan peacemaker. Terlepas dari masalah tersebut, Horta mampu memanfaatkan moment tersebut untuk mendongkrak legitimasinya untuk bersaing dalam proses politik di Timor Leste dengan al-Katiri. Sehingga dalam proses politik berikutnya, posisi politik Horta melambung dari hanya seorang Menteri Luar Negeri menjadi seorang Perdana Menteri, dan akhirnya menjadi Presiden di Timor Leste.

Ketiga, hal serupa juga terjadi pada Muhammad Yunus. Yunus sebelumnya adalah seorang ekonom murni, yang lebih tertarik bagaimana mendesain sebuah system perbankan yang ramah terhadap kaum miskin. Dari ide inilah, Yunus kemudian mendirikan Germen Bank, sebuah iniasi untuk memberdayakan kaum miskin. Namun, setelah mendapatkan Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus kemudian mulai tertarik untuk masuk dalam bursa politik di Bangladesh.

Menjaga Politisasi Nobel

Ada sebuah pelajaran yang menarik dari 3 hadiah nobel yang pernah diterima oleh para elit politik yang sedang melakukan proses pembangunan legitimasi. Nalar ini tampaknya yang juga dipakai oleh Panitia Nobel untuk lebih memilih seorang Martti Ahtisaari seorang pengusaha kayu dan mantan Presiden Finlandia, dibandingkan dengan Muhammad Jusuf Kalla (JK) ataupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Baik JK ataupun SBY, adalah elit politik yang sekarang ini juga akan bertarung kembali dalam kompetisi politik dalam Pemilu 2009 maupun Pilpres 2008.

Kishore Mahbubani , menyatakan bahwa ada kemaslahatan lain apabila hadiah itu diberikan kepada seorang Indonesia. Hadiah Nobel Perdamaian untuk SBY-JK akan menunjukkan kepada Barat bahwa muslim bisa menjadi penegak perdamaian dan, sama pentingnya, hadiah ini akan menyampaikan pesan harapan kepada muslim di seluruh dunia yang telah menyaksikan harga diri mereka tergerus oleh cerita kegagalan demi kegagalan yang mereka alami. Aceh merupakan kisah keberhasilan muslim yang spektakuler.

Nalar yang dibangun oleh Kishore Mahbubani sangat menarik, namun yang juga harus dicermati, adalah lebih fair jika hadiah nobel perdamaian tidak hanya diberikan kepada elite atau individu semata, namun juga bisa diberikan kepada masyarakat secara luas untuk mengurangi ruang politisasi hadiah nobel. Hadiah Nobel kepada masyaakat Aceh, tampaknya akan jauh lebih bermakna dibandingkan diberikan kepada seorang individu semata. Nobel perdamaian bagi masyarakat Aceh adalah sebuah pengakuan bahwa untuk mendapatkan kesadaran kritis tentang makna terdalam dari kata damai, masyarakat Aceh harus rela mengorbankan jiwa, harta, dan kemanusiaan yang tidak terkira.

Pilihan terhadap Martti Ahtisaaripun sebenarnya juga telah melahirkan kekhawatiran yang sangat besar bagi public Indonesia, dan Aceh khususnya. Sebagaimana diketahui, Martti Ahtisaari adalah pengusaha besar perkayuaan. Kayu bagi masyarakat Finlandia adalah sesuatu yang sangat penting, dan sebagai capital yang sangat berharga. Pemberiaan hadiah Nobel pada Martti, janganlah kemudian diikuti oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan akses yang luas dan khusus bagi Martti untuk bisa mengembangkan bisnis perkayuan di Indonesia. Sebab jika hal ini terjadi, maka sebenarnya partisipasi Martti dalam menjalankan misi perdamaian tersebut karena dorongan ekonomi dibandingkan dorongan kemanusiaa.

Untuk itu, adalah sebuah kenaifan, jika hadiah nobel justru lebih sering dipolitisasi untuk kepentingan elit dan bisnis semata. Masyarakat Aceh memerlukan sebuah bangunan kesadaran kritis, bahwa Hadiah Nobel perdamaian sejatinya untuk memperkuat daya tahan masyarakat di daerah berkonflik seperti halnya Aceh untuk mulai mengapresiasi nilai perdamaian, membangun komunikasi lintas budaya dan politik secara ramah. Semoga.

Politik Demokrasi Pedagogik

by Surwandono UMY | 22.28 in | komentar (0)

POLITIK DEMOKRASI PEDAGOGIK

SURWANDONO

DOSEN FISIPOL UMY DAN KANDIDAT DOKTOR ILMU POLITIK UGM

Bangsa Indonesia sedang mau menapaki demokrasi gelombang ke-3 pasca reformasi di tahun 1998. Berbagai kebijakan dan aturan telah ditelurkan selama 10 tahun terakhir agar demokrasi yang diyakini sebagai panasea (obat mujarab) bagi penyakit kekuasaan bisa bekerja dengan baik. Namun dalam batas tertentu, demokrasi di Indonesia belum menunjukan arah perubahan manejemen kekuasaan yang lebih baik. Tradisi korupsi kekuasaan masih senantiasa mewarnai berbagai produk kebijakan yang lahir. Sehingga tidak berlebihan kiranya, jika kualitas demokrasi bangsa ini semenjak reformasi hanya jalan ditempat.

Indonesia yang mulai dilirik sebagai “situs” demokrasi yang baik dalam konteks prosedural, namun tetap tidak mampu mengurangi indeks penyalahangunaan kekuasaan. Hampir setiap tahun TII menghadiahi kado pahit kepada manajemen regim republik ini karena managemen bangsa ini masih kuat dengan tradisi korupsi. Indonesia pun belum bisa keluar sebagai negara dengan tingkat penegakan hukum yang setengah hati dan tebang pilih. Meskipun juga harus diakui, KPK telah menjalankan peran yang serius dalam 1 tahun terakhir ini.

Politik PedagogiK

Tulisan tentang Pedagogi mendapatkan perhatian seorang Paolo Freire, yang menulis sebuah karya monumental tentang Pedagogi, Pedagogy of the Oppressed. Karya yang mampu membangkitkan nalar kritis dalam memaknai pendidikan. Pendidikan yang sejatinya akan membawa kepada kemampuan untuk bisa berbuat bijak, dan meningkatkan kemandirian namun telah terjadi justru pendidikan menjadi sebuah alat kapitalisme global untuk mengalienasi para pembelajar menjadi kehilangan nalar kritis namun justru melahirkan nalar naif.

Bagaimanakah jika nalar filsafat Freire ini juga dipergunakan untuk mengukur nalar politik demokrasi di Indonesia ?. Pertama, Produk politik demokrasi Indonesia selama ini cenderung menempatkan relasi pemerintah-elit dan rakyat dalam posisi yang tidak egaliter. Elite cenderung memaknai diri sebagai kelompok masyarakat yang lebih dalam segala hal atas rakyat. Bahkan elit memberhak untuk melakukan pendefinisian kebutuhan publik tanpa harus bertanya kepada publik itu sendiri. Sehingga tak ayal lagi banyak produk UU dan kebijakan tidak senafas dengan kebutuhan masyarakat. Dengan logika ini, demokrasi di Indonesia hanyalah menghasilkan fantasi dan ilusi bagi masyarakat. Politik untuk senantiasa “menggurui” fihak lain senantiasa lebih mengedepankan daripada keinginan untuk saling belajar bersama dalam politik demokrasi.

Kedua, Politik demokrasi di Indonesia telah menempatkan capital driven daripada human driven. Hal ini bisa ditemui dengan sangat kentara bahwa demokrasi telah menjadi alat bagi kelompok untuk mendapatkan aset kapital yang lebih besar, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Demokrasi telah menjadi area bisnis ekonomi yang baru dalam bukan dengan kemakmuran ekonomi untuk menunjang kualitas demokrasi sebagaimana dikatakan Martin Seymour Lipset. Sehingga fenomena politik uang dalam demokrasi di Indonesia menjadi sangat lazim.

Kandidat-kandidat yang transformative, muda, energik dan demokratis, namun karena tidak memiliki asset keuangan yang memadai hanya menjadi bulan-bulanan partai politik tatkala melakukan penyusunan calon legislative. Namun kandidat yang konservatif, tua, loyo, tidak demokratis, namun memiliki asset keuangan yang memadai menjadi primadona dalam penyusunan calon legislative.

Ketika seseorang telah menjadi elite dalam bangunan demokrasi, yang paling utama difikirkan adalah bagaimana melakukan kapitalisasi nilai demokrasi untuk menghasilkan keuntungan ekonomi guna menembus ongkos menjadi elit politik demokrasi dan bukan memikirkan bagaimana menjalankan praktik demokrasi untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.

Ketiga, demokrasi sejatinya memiliki kemampuan untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis di semua lapisan masyarakat. Sebuah kesadaran yang memungkinkan rakyat mampu mengetahui dan menganalisis struktur yang ada , apakah berfihak kepada publik atau kepada elit, apakah buruk ataukah baik. Demokrasi sebenarnya memberikan ruang luas bagi publik untuk terlibat dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental akan berfihak kepada kepentingan publik.

Namun justru yang terjadi dalam politik demokrasi di Indonesia selama ini adalah sebuah kesadaran naif dan ilutif. Yakni sebuah kesadaran reaktif yang cenderung hanya membenarkan kebijakan yang telah dibuat elit sebagai sistem dan struktur yang sudah baik, mapan dan berfihak kepada publik. Implikasi dari kesadaran naif adalah bagaimana rakyat harus menerima hasil proses demokrasi, dan tidak mempedulikan apakah proses tersebut menguntungkan atau berfihak kepada masyarakat.

Tidak berlebihan kemudian banyak elit partai politik melakukan kritik keras dan mencela terhadap kelompok masyarakat yang memilih golput, tanpa mempedulikan bahwa pilihan golput sebagai pilihan politik meminimalisi dampak demokrasi yang semakin tidak berfihak kepada masyarakat yang semakin miskin dan terpinggirkan. Inilah pertanda bahwa elit politik demokrasi, tetap angkuh bahwa kebenaran politik demokrasi senantiasa bersifat top-down.

Pesta demokrasi pada hakekatnya bukan lagi menjadi pesta publik secara alamiah, namun sebuah pesta yang melibatkan publik sebagai aktor penggembira yang sesungguhnya sebagai “pesta elit”. Maka tidak berlebihan kiranya, politik Indonesia lebih bermakna sebagai politik pedagogik. Pola ini semakin jelas dengan semakin bergaungnya kekuatan politik masyarakat untuk menghidupkan kembali tradisi golput yang pernah marak di era Orde Baru. Bahkan dalam dua Pilkada terakhir, yakni di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah mencapai angka di atas 40%. Banyak pentas politik demokrasi di tingkat lokal justru dimenangkan oleh “kotak kosong” dari pada kotak kandidat.

Asumsi golongan putih terhadap politik demokrasi di Indonesia sudah sampai sebuah pemahaman bahwa keterlibatan seseorang dalam mesin dan piranti demokrasi justru malah akan menyebabkan seseorang semakin tertindas. Demokrasi bukan lagi menjadi tempat pembebasan terhadap penindasan namun justru demokrasi memberikan ruang baru bagi lahirnya politik penindasan.

Sudah saatnya pemerintah dan elit politik mulai menyadari bahwa publik menghendaki proses pembelajaran demokrasi melalui metode andragogi, sebuah metode yang mengembangkan semangat egalitarian, pendidikan untuk bersama-sama belajar untuk menciptakan struktur yang bermartabat dan transformatif. Sebuah struktur yang akan mampu mengangkat derajat kesejahteraan politik dan ekonomi manusia. Kita berharap proses politik dalam parade Pilkada , pemilu dan Pilpres, bukanlah paket politik Pedagogik yang meresahkan tetapi paket politik Andragogi yang mensejahterakan. Amin.

Pemilu untuk Siapa

by Surwandono UMY | 22.26 in | komentar (0)

MENGGUGAT NALAR PEMILU

Surwandono

(Dosen Fisipol UMY, Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM)

Judul ini serasa sangat satire, manakala parlemen, partai politik baru dan DPD sedang bersibuk-sibuk ria untuk melakukan proses Pemilu 2009, yang dipenuhi dengan pergulatan pemikiran, debat antar partai politik, kandidat, bahkan sampai geser menggeser kursi. Dialektika seputar pemilupun banyak digelar, dari merekrut artis, aktivis ekstra parlementer untuk meningkatkan perolehan suara, sampai banyaknya mantan pejabat militer yang turun gunung untuk maju dalam proses politik.

Apakah makna dialektika tersebut bagi public ? Dari perspektif elit parpol, pemerintah, KPU senantiasa menaburkan aroma manis bahwa dialektika tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap suara rakyat. Suara rakyat tidak boleh hilang ataupun dihilangkan, representasi rakyat harus senantiasa terjaga dalam tarikan nafas dan langkah politik di Parlemen. Para elit Parpol, pemerintah dan KPU dalam memperjuangkan aturan main dn proses Pemilu, seakan manunggal dengan kehendak dan aspirasi rakyat. Apakah memang benar demikian ?

Adalah seorang David Easton, seorang ilmuwan politik yang sangat terkenal dalam mengkonstruksi sistem politik demokratis, pemikirannya telah menjadi sarapan pagi bagi akademisi, maupun politisi yang bergiat dengan mahkluk yang bernama politik. Dalam pandangan Easton, sistem politik merupakan interaksi antar 5 komponen, yakni input, konversi, output, feed back dan lingkungan, sebuah diagram alur sistem politik yang sistematis. Easton sendiri senantiasa memberikan peringatan dini terhadap komponen konversi, sebuah komponen unik dan spesifik yang di dalamnya berlaku hukum black box yang selama ini dijalankan oleh system politik. Proses konversi seringkali tidak ditentukan oleh tarik menarik antara tuntutan dan dukungan dari masyarakat, namun lebih ditentukan oleh tarikan siapa yang akan membuat aturan, dan siapa yang akan terkena aturan tersebut. Ada kecenderungan besar, bahwa ouput yang dibuat oleh sistem politik, akan menguntungkan yang membuat aturan tersebut, dan merugikan terhadap kompetitor politiknya. Merujuk apa yang disiratkan oleh Easton di atas, public pantas dan wajar menaruh kecurigaan terhadap beragam pergumulan politik, karena jangan-jangan kesemuanya yang akhirnya dapat untung hanyalah elit.

Pertanyaan yang kemudian menukik tajam, sesungguhnya untuk siapakah Pemilu itu. Untuk rakyatkah seperti yang sering didengungkan oleh para elit politik, ataukah hanya untuk proses produksi, melanggengkan bahkan memberhalakan kekuasaan elit. Atau jangan-jangan pemilu merupakan sebuah “ritual politik”, bahkan hanya sebagai asesoris makhluk politik yang bernama demokrasi.

Pemilu tak Bermakna

Mengapa nalar pemilu semakin tidak bermakna ? Pertama, terdapat kenyataan bahwa angka-angka golput dalam beberapa Pilkada menunjukan angka meningkat, hal ini sangat tercermin dalam Pilkada di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur. Tingginya angka golput bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakpercayaan publik terhadap ritual pemilu, yang dianggap meaningless, dan tak bermakna.

Dr. Pratikno, seorang pakar politik UGM, mengatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin rendah dibandingkan dengan lembaga pemerintah. Data menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8% di Pemilu tahun 2004 menjadi 5,8% di tahun 2007. Pemilu 2004, yang dianggap sebagai pemilu yang demokratis seperti dalam pemilu 1955, ternyata juga tidak mampu menghasilkan kualitas elit di lembaga trias-politika yang kredibel. Masyarakat semakin miskin, tak berdaya, sedangkan para elit semakin makmur dan menikmati kemakmuran tersebut.

Kedua, terdapat suatu kenyataan pahit bahwa yang sering ditunggu masyarakat kecil dalam konteks pemilu di tingkat paling bawah sampai nasional adalah distribusi “rejeki money politik”, pada saat pemilu daripada proses politik yang prospektif. Public seakan bisa “memeras” para calon elit, sebagai balasan atas pemerasan para elit ketika masih berkuasa. Kondisi ini seakan telah menjadi “tradisi” buruk perekrutan elit, yang kemudian berimplikasi terhadap langgengnya budaya korupsi dalam jabatan publik. Adalah tidak berlebihan jika seorang Hasyim Muzadi justru menyerukan penghapusan pilkada langsung, sebagai bentuk kritik kepada kualitas Pilkada yang memprihatinkan.

Ketiga, sempitnya proses sirkulasi elit dalam pemilu. Hal ini ditandai dengan sangat sulitnya “orang miskin” atau “partai gurem” meskipun mengembangkan intra party democracy untuk melakukan mobilitas vertical politik. Hampir bisa dipastikan bahwa para anggota parlemen adalah sebagian besar “muka lama”, dan partai pemenang pemilu-pun juga partai lama, sebagai implikasi dari proses pembuatan UU Pemilu yang sangat konservatif dan oligharkis.

Keempat, pemilu identik dengan suasana crowded dan rentan dengan aktivitas kekerasan psikis maupun fisik. Dari bertaburan politik fitnah, hujat menghujat, sampai kekerasan fisik antar massa dari partai politik sampai bertaburannya atribut partai politik dan elit yang tidak elok dan hanya membuat pelangi politik Indonesia menjadi pesta yang kotor, tidak indah, bahkan terkadang menyesakkan dada.

Mengubah Nalar

Nalar yang selama ini berkembang seputar pemilu adalah nalar yang terpusat kepada proses perekrutan semata, yang seringkali cenderung berfihak kepada elit politik yang membuat aturan sebagaimana yang disinyalir oleh David Easton. Setidaknya 3 nalar perubahan yang harus diintrodusir ulang untuk memaknai UU Pemilu 2009 yang sudah terlanjur lahir sebelum dibuahi nalar yang bermartabat, pertama, Pemilu sebagai bentuk pendidikan politik yang egaliter, bagi publik maupun elit. Pemilu sebagai proses pendidikan politik, harus memberikan pendidikan yang bermoral, rasional dan berdaya guna. Nalar ini sangat penting di tengah arus pendidikan politik selama pemilu sebagai pendidikan politik yang penuh dengan intrik, irasional, opurtunistik.

Kedua, pemilu juga sebagai proses pelembagaan politik. Pemilu hendaknya mampu membangun tingkat kedewasaan politik dari elit dan public menuju pelembagaan politik, dan bukan melalui politik jalanan. Nalar ini sangat penting di tengah kondisi politik Indonesia yang semakin tidak terlembaga. Publik lebih memilih memperjuangkan aspirasinya melalui gerakan parlemen jalanan, karena dianggap lebih efektif dan artikulatif.

Ketiga, pemilu sebagai bentuk produktivitas nalar demokrasi. Sebagaimana disuratkan oleh Robert Dahl, bahwa pelaksanaan Pemilu yang sistematis, dan fairness akan mampu menghasilkan mesin politik yang sehat, sehingga diharapkan akan memberikan kontribusi positif bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Perdamaian di Mindanao

by Surwandono UMY | 22.25 in | komentar (0)

2008-08-13 16:06:00 (Republika)

Membaca Ulang Perdamaian di Mindanao

Surwandono
Dosen Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM, Tinggal di Manila

Perdamaian di Mindanao telah menjadi harapan semua kalangan. Sebuah situs konflik yang telah berlangsung semenjak abad ke-17 M, tetapi sampai saat ini belum menemukan titik equilibrium bagi tercapainya perdamaian yang abadi.

Meskipun ikhtiar untuk menyelesaikan konflik tersebut sudah diupayakan oleh berbagai kalangan, baik dari dunia Islam, PBB, ASEAN, OKI, maupun aktor lainnya, yang tecermin dalam Tripoli Agreement 1976, Final Peace Agreement 1996, antara faksi MNLF dengan Pemerintah Filipina yang kemudian menghasilkan rezim otonomi Islam di Mindanao (ARMM). Upaya lain juga ditempuh melalui faksi Mindanao yang lain, yakni MILF yang telah melakukan perjanjian damai dengan Pemerintah Filipina 2003. Sekarang ini juga sedang dilaksanakan perjanjian untuk menyelesaikan persoalan ancestral domain.

Tulisan ini akan melakukan refleksi kritis terhadap pelaksanaan perjanjian antara MILF dan Pemerintah Filipina yang pelaksanaannya berimpit dengan pelaksanaan pemilihan umum di ARMM (Philippine Daily Inquirer, 2 Agustus 2008). Dalam diskursus ini ada sebuah kesamaan yang sangat mencolok antara setting Final Peace Agreement 1996 dan pelaksanaan negosiasi sekarang ini.

Pertama, negosiasi dilakukan oleh aktor-aktor yang sedang mengalami persoalan kohesivitas internal. Rezim Arroyo tidak bisa dimungkiri sedang mengalami kontraksi legitimasi yang sangat besar, seiring dengan beragam kegagalan pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan politik, hukum, maupun ekonomi.

Demikian pula dari kubu MILF, pascameninggalnya Salamat Hashim di 2003, posisi kepemimpinan MILF yang sangat bersifat personal-kharismatis mengalami kontraksi yang berarti tatkala kepemimpinan MILF berbasis kolegial-rasional. Kepemimpinan Murad Ibrahim tidak sepenuhnya bisa mengelola MILF dan kelompok Mindanao daratan menjadi kohesif.

Pola ini sama persis dengan tatkala rezim Fidel Ramos melakukan negosiasi dengan Misuari dalam Final Peace Agreement 1996. Kedua-duanya juga mengalami persoalan yang sangat serius terkait dengan derajat penerimaan masyarakat kepada kepemimpinannya. Fidel Ramos dianggap tidak memiliki kapasitas untuk meningkatkan derajat pertumbuhan ekonomi yang pernah diukir oleh Ferdinand Marcos. Demikian pula Nur Misuari semakin tidak popular di kalangan Mindanao seiring dengan menguatnya dukungan public Mindanao terhadap Salamat Hashim.

Kedua, terlaksananya kesepakatan untuk melakukan negosiasi tentang /ancestral domain setelah Pemerintah Arroyo memberikan ruang atau janji yang besar untuk melakukan amendemen konstitusi. Sebuah amendemen yang membuat bentuk negara Filipina menjadi negara federasi. Isu ancestral domain merupakan isu substantif yang diajukan MILF untuk menyelesaikan konflik di Mindanao. (The Philippine Star, 4 Agustus 2008).

Isu ini memang telah menjadi isu besar dalam negosiasi MILF dengan Pemerintah Filipina 2003 yang berakhir dead-lock karena Pemerintah Filipina enggan untuk melaksanakan amendemen konstitusi. Pola ini memiliki kemiripan dengan janji Pemerintah Fidel Ramos untuk melakukan amendemen konstitusi guna memberikan ruang yang luas bagi terciptanya kepemimpinan yang kuat dan legitimate di ARMM sehingga dapat menjalankan peran pemerintah secara baik.

Ketiga, pelaksanaan negosiasi berimpit dengan pelaksanaan pemilihan umum di ARMM. Negosiasi yang akan ditandatangani dalam bulan Agustus ini berimpit dengan pelaksanaan pemilu sehingga banyak kalangan mengalami kekhawatiran yang luas akan dampak liar dari dua peristiwa besar tersebut. Pola itu sama persis dengan pelaksanaan negosiasi di Final Peace Agreement 1996, di mana ketika itu Misuari mengalami dilema yang sangat serius dengan iming-iming Pemerintah Filipina untuk mendukung Misuari dalam pemilihan gubernur ARMM melalui kekuatan partai politik LAKAS, partai politik yang mendukung Fidel Ramos menjadi
presiden.

Mewaspadai politisasi negosiasi
Membaca pola negosiasi Final Peace Agreement 1996 sebagai cermin terhadap pelaksanaan negosiasi sekarang ini setidaknya terdapat beberapa makna penting yang harus dicermati. Pertama, terdapatnya
politisasi negosiasi antara pihak yang berkonflik untuk mencapai posisi BATNA (best alternative to negotiated agreement ), sebuah kondisi di mana kedua belah pihak menyepakati isu substantif yang akan dinegosiasikan.

Sayangnya upaya ini justru sering dilakukan secara politis. Namun, tidak disertai dukungan publik dan parlemen yang memadai. Masyarakat di Filipina di luar Mindanao sedemikian rupa menentang terhadap negosiasi yang menegosiasikan ancestral domain karena dianggap akan mengganggu penguasaan tanah Mindanao yang selama ini dikuasai oleh
kalangan di luar Mindanao.

Akhirnya, membaca dari pengalaman di 1996 Pemerintah Fidel Ramos tidak mampu melaksanakannya karena ditolak ratifikasinya oleh parlemen. Tampaknya nasib kebijakan politis Aroyyo juga akan mengalami nasib yang sama di tengah tekanan banyak kalangan di Luzon dan Visayas yang melihat bahwa akan terdapat kerugian yang teramat besar. Dengan demikian, bukan tidak mungkin kalangan Mindanao dan MILF hanya bisa menggigit jari tatkala janji tersebut akhirnya tidak bisa dipenuhi.

Kedua, politisasi negosiasi yang tak kalah hebatnya adalah political will dari Filipina untuk melakukan amendemen konstitusi. Nalar ini memang sangat solutif bagi kalangan di Mindanao dengan negara federasi posisi Mindanao akan mendapatkan tempat yang khusus dan perlakuan yang lebih fair. Selama ini range negosiasi dalam kasus Mindanao berada di area menjadi negara merdeka (independent state), negara federasi (federal state), otonomi khusus (special autonomy), otonomi, dan re-integrasi. Pilihan yang sering muncul bergerak di area menjadi negara federal sampai otonomi.

Dalam Final Peace Agreement 1996, pilihan negosiasi yang mencapai titik BATNA berada dalam rezim otonomi khusus (ARMM dengan tambahan kelembagaan SPCPD (South Philippine Council for Peace and Development) dan SZOPAD (Special Zone for Peace and Development), yang juga menghendaki amendemen konstitusi. Dalam perjalanannya, upaya melakukan amendemen konstitusi akhirnya tidak terpenuhi. Apalagi dalam isu sekarang ini, amendemen konstitusi akan menyentuh aras yang sangat kritikal, yakni perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi federasi. Jelas sebuah perubahan yang membutuhkan dukungan publik yang sangat besar.

Bagaimana dengan konteks dukungan publik terhadap keduanya? Inilah masalahnya. Pihak-pihak yang melakukan negosiasi tidak mendapatkan publik yang memadai sehingga tidak berlebihan kiranya jika nasib perjanjian damai yang akan ditandatangani mengalami nasib yang sama. Hanya dengan keseriusan, kerja keras dan saling memercayai diharapkan ruang-ruang terjadinya politisasi negosiasi bisa dihindari sehingga peluang bagi terciptanya perdamaian yang sesungguhnya bisa tercapai.

Ikhtisar:
- Belum ada tanda-tanda ada penyelesaian masalah di Mindanao.
- Para aktor dan fasilitator negosiasi bisa mengambil pelajaran penting dari Final Peace Agreement 1996.


Masturbassikan Demokrasi Kita

by Surwandono UMY | 22.17 in | komentar (0)

MASTURBASIKAH DEMOKRASI KITA?

Surwandono

Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM dan Dosen Fisipol UMY

10 tahun sudah bangsa Indonesia telah Melamar Demokrasi, sebagaimana judul buku yang ditulis oleh Anas Urbaningrum tatkala menjadi anggota KPU. Demokrasi sedemikian rupa sangat menarik dan mempesona bagi bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia kemudian memutuskan untuk melamar nalar demokrasi sebagai nalar berbangsa dan bernegara.

Tidak hanya itu, Anis Matta, Sekjen PKS, sebuah partai politik yang senantiasa diidentikkan dengan tradisi dakwah salafi, sebuah tradisi yang seringkali tidak ramah dengan konsep demokrasi, justru mencoba memberikan cara membaca demokrasi secara baru. Dalam bukunya, Menikmati Demokrasi: Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, seakan memberikan legalisasi bahwa demokrasi menjadi sebuah jalan penghubung (wasilah) yang strategis bagi perluasan dakwah.

Namun, setelah 10 tahun melamar dan menikmati nalar demokrasi, demokrasi tampaknya belum mampu memberikan hasil reproduksi yang produktif. Publik Indonesia sedemikian getir melihat tingkah polah partai politik yang difahami sebagai penyangga demokrasi, justru menunjukkan kesadaran demokrasi yang rendah. Lembaga parlemen, justru dinilai oleh public sebagai lembaga yang semakin berjarak dengan artikulasi kepentingan public. Melenggangnya kebebasan di Indonesia, sebagai implikasi dari pemberlakuan demokratisasi, justru tidak berkorelasi dengan semakin dewasanya kesadaran berdemokrasi. Korupsi justru membumbung tinggi, akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan ternyata sangat jauh dari benchmark good governance sebagai yang telah dilaporkan oleh Global Integrity Indeks. Kesejahteraan politik, bangsa Indonesia ternyata berbanding terbalik dengan semakin meningkatkannya iklim kebebasan di Indonesia.

Masturbasi Politik

Masturbasi merupakan sebuah konsep yang terkait dengan proses pemuasan kebutuhan biologis seseorang tanpa melalui proses “coitus”, upaya mendapatkan kenikmatan seksual melalui penciptaan kepuasan sensasial. Namun bagi banyak kalangan, masturbasi sering difahami sebagai sebuah kesia-siaan, karena menguras energi yang sangat besar namun tidak menghasilkan buah “reproduksi”, kecuali hanya sebuah halusinasi kenikmatan.

Bagaimana dengan demokrasi kita? Demokrasi di Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini tampaknya memiliki kemiripan dengan suasana masturbasi. Demokrasi di Indonesia memang telah berhasilkan menghasilkan “sensasi” kebebasan di seantero negeri. Semua orang bisa berteriak untuk mengartikulasikan kepentingan dan pendapatnya, tidak peduli apakah pendapat dan kepentingan tersebut produktif atau tidak bagi bangsa. Demontrasi seakan telah menjadi berita sehari-hari, tidak hanya mahasiswa yang melakukan demontrasi, buruh, pedagang, petani, bahkan anak-anak sekolah dasar sekalipun juga tak kalah artikulatifnya dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat.

Publik seakan sudah merasa puas, tatkala mampu menyuarakan aspirasinya secara lantang. Publik seakan sudah merasakan kenikmatan yang tiada tara tatkala mampu memaksa lembaga politik, perusahaan, instansi pendidikan, pemerintah, memenuhi tuntutan yang diajukan. Demontrasi seakan telah menjadi alat politik baru, bahkan penggunaan kekerasan dan menganggu kepentingan public lainnya seakan bukan menjadi masalah krusial, agar tuntutan dipenuhi. Banyaknya kasus pemblokiran jalan, baik dengan menebang pohon, menutup akses jalan teramat sering ditemukan oleh public untuk mengaktualkan kekesalannya terhadap system demokrasi. Inilah bentuk sensasi kebebasan dari makhluk yang bernama demokrasi.

Bagaimana dengan tingkah polah elit demokrasi kita? Para elit demokrasi kita seakan sudah merasa puas telah terpilih melalui mekanisme procedural recruitment politik yang demokratis. Sehingga berbondong-bondong membuat partai baru jika tersingkir dalam peredaran partai lamanya Sehingga tidak jarang, elit politik seringkali mempertontonkan proses membangun politik demokrasi melalui “sensasi” dan dibandingkan dengan “prestasi’. Elit politik lebih suka bekerja secara akrobatik dibandingkan dengan berkarya secara sistematis. Semakin elit politik mampu membuat “sensasi”, semakin elit politik tersebut menyakini telah menjadi actor politik yang paling demokratis.

Hasil politik demokrasi yang mengedepankan sensasi adalah lemahnya adaptabilitas produk legislasi dalam menghadapi kontraksi sistem politik, baik yang berasal dari tekanan domestik apalagi internasional. Sebagaimana sekarang ini bisa disaksikan, demokrasi yang sebelumnya diharapkan akan mampu memperkokoh system ekonomi dan kemandirian bangsa, ternyata tak mampu berbuat banyak. Harga barang kebutuhan pokok membumbung tinggi tak terkendali, lembaga parlemen dan eksekutif seperti “mati kutu”. diam seribu bahasa. Apakah kesemuanya ini menunjukan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ketika melamar dan menikmati demokrasi, hanyalah dalam ruangan “masturbasi”, mengedepankan sensasi daripada “produksi”. Na’udzubillah.

Menikahi Demokrasi: Mengakhiri Sensasi

Pertanyaan yang layak untuk diajukan adalah “mengapa hasil demokrasi di Indonesia hanya sebuah sensasi “kebebasan” dan bukan prestasi “kesejahteraan dan kedewasaan”. Di usia yang ke 63 tahun Indonesia, para pemimpin republik dan masyarakat Indonesia harus mulai berfikir dengan kritis dan jernih. Sensasi memang telah memberikan kenikmatan namun yang harus disadari bersama bahwa bangsa ini tidak sekedar membutuhkan sensasi belaka.

Indonesia telah memiliki modal sosial yang sangat berharga untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Umur yang semakin matang, tempaan ujian yang datang bertubi-tubi, baik dalam bentuk ujian kontraksi politik, ekonomi dan aneka bencana alam. Indonesia juga sedang mengalami transformasi ke arah tata good governance, membanjirnya jumlah partai politik yang kini telah mencapai 38 partai politik.

Modal sosial tersebut harus dikelola secara professional, atau dalam bahasa lugasnya Indonesia harus segera memutuskan untuk “menikahi” demokrasi luar dan dalam. Tidak cukup kita hanya melamar dan menikmati demokrasi semata, sebab jika kita hanya berhenti di arays ini maka yang terjadi hanyalah repetisi sensasi dan aneka masturbasi semata. Dengan melakukan pernikahan terhadap demokrasi, bangsa ini diharapkan akan segera mendapatkan rahmah yang beraneka ragam, dari kedewasaan bersikap, kejujuran, keterbukaan, ketertiban, sampai pada akhirnya berkorelasi dengan derajat kesejahteraan.

Dengan menikahi demokrasi, maka sesungguhnya bangsa ini akan memiliki tanggung jawab (mas’uliyyah) terhadap internalisasi nilai demokrasi secara luas, dan substantif. Sebagaimana orang yang melakukan pernikahan, biasanya akan segera diikuti dengan persiapan-persiapan yang serius untuk siap menerima amanah jika sewaktu-waktu harus mengelola buah pernikahan itu sendiri. Bangsa ini tentunya tidak ingin, bahwa buah dari demokrasi adalah ketidakteraturan dan kemiskinan. Bangsa ini tentu berharap buah dari pernikahan dengan demokrasi adalah kematangan, kejujuran, kebersamaan dan kesejahteraan. Semoga.

Profile

Curicullum Vitae

1. Name: Surwandono,S.Sos, M.Si
2. Place and Birth: Bantul, May 2 , 1971
3. Sex: Man
4. Address: Kadirojo RT 09 Bantul Yogyakarta Indonesia 55713
5. Mobile Phone: +628562880312
6. e-mail: surwan04@yahoo.com. au
7. Department: International Relation Department
8. University: University of Muhammadiyah Yogyakarta
9. Education: Under-graduate (Airlangga University) Post-Graduate (Gadjah Mada University)and Ph. D candidate in Political Science at Gadjah Mada University

Research
a.The dynamics of Strategic Opportunity and Legislation on Final Peace Agreement 1996 (2008
b. Conflict and Negotiation in Mindanano (2007)
c. Muhammadiyah and The New Islamic Organization (2006)
d. Muhammadiyah and Power 2005
e. Relation between Political Geography and Conflict in Southeast Asia, 2004
f. Conflict and Poverty in South Asia, 2003
g. Conflict Resolution in Islamic Perspective, 2002
h. Relation between Political Geography and Conflict in Middle East, 2001
i. The Political Thought of Ibnu Taimiyyah and Ghazali About Islamic State, 1999
j. Democratization in Islamic World: The Studies of Democratization in Pakistan and Iran, 1999
k. Women Leadership in Islamic World: The Study of Women Leadership in Pakistan, 1998

Book
Islamic Political Thought, Yogyakarta, LPPI UMY, 2000
International Conference of Social and Humanitarian (ICOSH), on Universitas Kebangsaan Malaysia, March, 13-15 2007, Former Rebellion Movement in Power: A Challenge of Performance Proofing

Local, National and International Presentation, Trainer and Consultant
a. Trainer for Civic Education in Medan, 2003
b. Trainer for Civic Education in Palembang, 2003
c. Trainer for Civic Education in Yogyakarta, 2003
d. Trainer for Student Leadership in Yogyakarta, 2006
e. Presenter on Iran Nuclear Seminar in Yogyakarta, , 2006
f. Presenter on Iraq Conflict Seminar in Yogyakarta, 2007
g. Writer for Academic Writing for RPP (Draft for Government Regulation) Sabang, Gadjah Mada University, 2007
h. Consultant and Writer for Document about Kampong Papua Resilience, Partnership Program for Papua, 2008
i. International Conference of Social and Humanitarian (ICOSH), on University Kebangsaan Malaysia, March, 13-15 2007, Former Rebellion Movement in Power: A Challenge of Performance Proofing
j. Advanced Seminar: Focus on The Philippines, August, 4-9, SEASREP, UPI, Diliman, Manila, Philippines, 2008

Publication in News Paper
1. Unbalanced Security Council: Analysis from Islamic World Perspective, Republika, 2005
2. Ten Agenda from Israel to occupy Palestine, Republika, 2005
3. Separatism of GAM (Aceh Liberation Movement) from Islamic Perspective, Republika, 2005
4. Framing to Iran Nuclear: Analysis from Islamic Perspective, September 2005
5. Bali Boom II and Free Rider, Republika, 2005
6. The Scenario of Israel to Iran Nuclear, Republika, 2006
7. Iran Nuclear and Jews Propaganda, Republika, 2006
8. Political Trap to HAMAS, Republika, 2006
9. To Explore Poverty in Islamic World, Republika, 2006
10. To Discuss Coup d'état theory, Republika, 2006
11. Lipsticks Democracy, Republika, 2006
12. Metamorphosis of HAMAS, Republika, 2006
13. Looking for Holocaust Actor, Republika, 2006
14. The sign of Israel Decline, Republika 2006
15. Media and Iran War, Koran Tempo, 2006
16. Bush and Political Turbulent, Koran Tempo, 2006
17. Regime Trials and Errors, Koran Tempo, 2006
18. Who are Citizens, Seputar Indonesia, 2006
19. The Construction of Poso Conflict, Republika, 2006
20. Iraq and ABC Theory, Republika, 2007
21. Poso Conflict and Public Trust, Republika, 2007
22. Poso and Fogging DPO (Most Wanted People), Republika, 2007
23. The High Cost of Democracy, Republika, 2007
24. Democracy in Naivete, Republika, 2007
25. To Warn Politicization of Negotiation, Republika, 2007
26. The Tradition of Political Party, Seputar Indonesia, 2007
27. “Trias Politica” without the Publics, Seputar Indonesia , 2007
28. Who are sick: Nation or Regime, Seputar Indonesia, 2007
29. The Innocent Regime, Seputar Indonesia, 2007
30. Iran and the Martyr of Nuclear Democratization, Seputar Indonesia, 2007
31. The bankrupt of Military system, Seputar Indonesia, 2007
32. To understand arrestment of terrorist, Seputar Indonesia, 2007
33. To understand Separatism, Republika, 2007
34. Understanding political “silaturahmi”, Republika, 2007
35. Who does get benefits from Democracy, Republika, 2007
36. Crisis and Sect, Koran Tempo, 2007
37. Marginalization to Poor People, Republika, 2007
38. Disaster after Disaster, Seputar Indonesia, 2007
39. Understanding Monks Action, Seputar Indonesia, 2007
40. Fasting Democracy, Republika, 2007
41. Transformation for Political Party, Koran Tempo, 2008
42. To Politicize National Coalition, Koran Tempo, 2008
43. To Politicize Nobel Award, Koran Tempo, 2008
44. The Politic of “Jenang” (Pie) and “Jeneng” (Honor), Republika, 2008
45. Re-reading Peace Process in Mindanao, Republika, 2008

Publication in Journal
1. Lesson from Iran: Revolution to Democracy, Strategy Journal, Fisipol UMY, 2003
2. Estimating conflict resolution in Islamic World, International Relation Journal, Fisipol UMY, 2005
3. Relation poverty and conflict in South Asia, International Relation Journal, Fisipol UMY, 2006
4. Former Rebellion Movement in Power: A Challenge of Performance Proofing, International Relation Journal, Fisipol UMY, 2007

Leadership Experience
1. Secretary of International Relation Department, Faculty of Social and Political Science, University of Muhammadiyah Yogyakarta, 1999-2000
2. Secretary of Public Service Board, University of Muhammadiyah Yogyakarta, 1999-2000
3. Head of Public Services Board (LPM), University of Muhammadiyah Yogyakarta, 2000-2002
4. Head of Consortium for Public Services Board (LPM) in Yogyakarta, 2002-2003
5. Vice Dean for Academic Affairs, Faculty of Social and Political Science, University of Muhammadiyah Yogyakarta, 2003-2005
6. Director for Grant Competition Program(PHK-A-3) in International Relation Department, Faculty of Social and Political Science, University of Muhammadiyah University, Higher Education Program, Indonesia Ministerial for Education, 2006-2007